LIFT-TB Indonesia: Lokakarya Penelitian Operasional BPaL (Bedaquiline, Pretomanid, dan Linezolid) bagi Pasien TBC Resistan Obat di Indonesia
20 June 2022
Sumber foto: Panita
Tuberkulosis Resistan Obat (TBC RO) karena mutasi kuman TBC terhadap obat-obatan yang digunakan untuk membunuhnya masih menjadi permasalahan kesehatan yang mengancam. Berdasarkan data Global Tuberculosis Report 2021, Indonesia memiliki estimasi kasus TBC RO sebanyak 24.000 atau 8,8/100.000 penduduk dengan persentase pasien TBC RO memulai pengobatan (enrollment rate) dan keberhasilan pengobatannya yang masih di bawah target. Salah satu penyebab keberhasilan pengobatan yang masih di bawah target adalah banyaknya jumlah obat yang harus diminum (minimal 5 kombinasi obat) dan lamanya pengobatan pasien TBC RO (9-24 bulan).
Salah satu upaya global untuk mengatasi permasalahan TBC RO adalah pengenalan paduan pengobatan baru yang lebih efektif. Paduan baru yang direkomendasikan WHO pada 2020 untuk pasien TBC RO adalah kombinasi obat Bedaquiline, Pretomanid, dan Linezolid atau yang disingkat BPaL dengan durasi pengobatan yang lebih pendek yakni 6-9 bulan. WHO merekomendasikan paduan ini dalam tatanan penelitian operasional pada 2020 dan dalam kerangka program pada Mei 2022. Penelitian di Afrika Selatan (Nix-TB) menunjukkan efektivitas paduan ini sebesar 90% (98 dari 109 pasien menunjukkan keberhasilan pengobatan).
Dalam rangka insiasi dan implementasi paduan BPaL bagi pasien TBC RO di Indonesia, Yayasan KNCV Indonesia bersama Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah mengadakan lokakarya terkait pelaksanaan penelitian operasional mengenai penggunaan paduan BPaL pada pasien TBC RO pada hari Senin (13/6) dan Selasa (14/6) 2022 lalu. Lokakarya yang dihelat secara gabungan daring dan luring ini dihadiri oleh perwakilan Tim Kerja TBC-ISPA Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; Komite Nasional Farmakovigilans; Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur; Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Jakarta Timur, Jakarta Utara, Bandung, Semarang, Malang, dan Surabaya; Staf rumah sakit lokasi studi yang terlibat dalam penelitian operasional BPaL yakni RSUP Persahabatan Jakarta, RSPI Sulianti Saroso Jakarta, RSUD Dr. Soetomo Surabaya, RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, RSUP Dr. Kariadi Semarang, dan RSUD Dr. Saiful Anwar Malang; Laboratorium pemeriksaan BPaL yakni BBLK Surabaya, Mikrobiologi UI, Labkes Prov. Jawa Barat, BLK Semarang; Perwakilan WHO Indonesia; dan Perwakilan TB STAR USAID.
Acara diawali dengan sambutan oleh dr. Jhon Sugiharto, MPH selaku direktur eksekutif Yayasan KNCV Indonesia, yang menyampaikan bahwa adanya tantangan yang besar terhadap penanganan TBC RO di Indonesia terutama pada pola resistansi terhadap fluorokuinolon dengan pilihan terapi pengobatannya yang semakin sedikit, efek samping obat yang lebih banyak, dan durasinya pengobatannya yang lebih lama. Hal ini lah yang menjadi dorongan untuk diadakannya penelitian yang menguji paduan BPaL untuk pengobatan TBC RO yang lebih efektif, aman, dan durasi yang lebih singkat.
Acara dilanjutkan dengan sambutan sekaligus pembukaan secara resmi oleh Plt. Direktur P2PM Kementrian Kesehatan Republik Indonesia yang diwakili oleh dr. Meilina Farikha, M.Epid. Ibu Mei menyampaikan bahwa indikator pengobatan TBC RO seperti inisiasi dan keberhasilan pengobatan di Indonesia masih di bawah target. Capaian keberhasilan pengobatan TBC RO yang rendah ini menunjukkan tingginya kebutuhan terhadap paduan pengobatan TBC RO yang lebih sederhana dan ramah untuk pasien. Penelitian operasional paduan BPaL ini diharapkan dapat memberikan data efikasi dan keamanan sebagai dasar pengimplementasian paduan BPaL secara nasional di kemudian hari.
Memasuki sesi materi, materi pertama dipaparkan oleh dr. Endang Lukitosari, MPH selaku Sub Koordinator Tim Kerja TBC-ISPA. Ibu Luki menyampaikan bahwa banyaknya perubahan-perubahan pengobatan TBC RO selama beberapa tahun ke belakang hingga saat ini menunjukkan adanya perbaruan-perbaruan terkini agar inisiasi pengobatan atau enrollment rate TBC RO semakin tinggi dan kejadian loss-to-follow-up pengobatan semakin sedikit. Ibu Luki juga menekankan bahwa penelitian operasional BPaL ini turut menjadi kesempatan bagi kita untuk dapat membenahi sistem pemantuan kasus-kasus TBC RO lainnya termasuk sistem surveilans dan pelaporan hingga pelibatan multisektor dalam penanganan TBC RO.
Materi berikutnya terkait pemaparan protokol penelitian oleh Dr. dr. Erlina Burhan, M.Sc., Sp.P(K) menjelaskan bagaimana rencana penelitian operasional BPaL ini akan dilakukan di 6 rumah sakit yang terlibat di kota Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Malang. Dokter Erlina turut menjelaskan metodologi penelitian operasional termasuk kriteria inklusi dan eksklusi partisipan penelitian hingga kondisi-kondisi khusus yang memerlukan perhatian seperti seperti riwayat gangguan irama jantung dan anemia pada perekrutan partisipan penelitian. Acara dilanjutkan dengan sesi breakout room khusus untuk petugas laboratorium yang berisi paparan mengenai jejaring laboratorium tuberkulosis di Indonesia dan penanganan spesimen, serta breakout room yang berisi paparan mengenai sistem pencatatan dan pelaporan TBC nasional dan alur pengumpulan dan manajemen data penelitian operasional bagi peserta lain.
Pada hari kedua, materi oleh dr. Nafrialdi, PhD, Sp.PD, Sp.FK melalui aspek farmakologisnya membahas mengenai efek samping paduan obat BPaL seperti kematian sel saraf tepi, peradangan saraf mata, gangguan organ hati, gangguan pada sel darah seperti anemia, dan gangguan irama jantung yang sering kali terlewatkan di lapangan–kelima efek samping ini dimasukkan sebagai Kejadian Ikutan dengan Perhatian Khusus (KIPK) yang harus dipantau pada penelitian operasional ini. Selain itu paduan BPaL juga dapat berinteraksi dengan beberapa obat lainnya seperti efavirenz yang diberikan pada ODHIV.
Dokter Nafrialdi juga menjelaskan pentingnya mengkategorikan derajat efek samping yang mungkin muncul pada partisipan penelitian. Hal ini disebabkan dengan mengkategorikan derajat efek samping yang mungkin muncul, partisipan penelitian dapat diberikan penatalaksanaan yang tepat dan sesuai jika diperlukan. Namun apabila efek samping yang muncul adalah kategori derajat berat, bisa dipertimbangan apakah partisipan tetap dapat melanjutkan uji coba pengobatan atau tidak. Melengkapi hal ini, penting juga untuk melakukan penilaian yang lebih dalam apakah efek samping yang muncul pada partisipan penelitian murni terjadi akibat uji coba pengobatan BPaL atau terjadi akibat faktor perancu lainnya.
Acara lokakarya penelitian operasional BPaL yang telah berlangsung selama dua hari ditutup dengan diskusi bersama dengan klinisi-klinisi dari pihak rumah sakit yang terlibat dan pembacaan ringkasan pertemuan lokakarya. Ringkasan pertemuan lokakarya turut menggarisbawahi hal-hal yang perlu dipersiapkan kembali terkait pelaksanaan uji coba paduan BPaL terhadap pasien TBC RO yang akan segera dilakukan di 6 pusat lokasi penelitian.