Mengenal TBC RO pada Anak dan Permasalahannya
20 November 2024
Sobat TB, tahukah Anda, bahwa setiap tahun diperkirakan ada puluhan ribu kasus tuberkulosis resistan obat (TBC RO) pada anak di seluruh dunia? Secara kumulatif diperkirakan terdapat 2 juta kasus TBC RO pada anak dan kurang dari 5% yang didiagnosis dan mendapatkan pengobatan.
Tuberkulosis Resistan Obat atau yang sering disingkat menjadi TBC RO adalah penyakit menular lewat udara. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis complex yang telah mengalami kekebalan terhadap satu atau lebih obat anti tuberkulosis (OAT). TBC RO dapat menyerang semua kelompok usia, termasuk pada anak-anak.
Beban TBC RO pada Anak di Dunia dan di Indonesia
Berdasarkan laporan WHO Global Tuberculosis Report 2023, diperkirakan terdapat 450.000 kasus baru TBC RO di seluruh dunia setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, sekitar 5-7% atau 25.000-32.000 kasus terjadi pada anak-anak. Namun, dalam periode 2018 hingga 2022, hanya sekitar 21.600 anak dengan TBC RO yang mendapatkan pengobatan. Angka ini hanya mencapai 19% dari target global dari target sebesar 115.000 dalam kurun waktu tersebut.
Lebih lanjut sekitar 22%, dari anak-anak yang terinfeksi TBC RO meninggal dunia. Tingginya angka kematian ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain keterbatasan atau keterlambatan diagnosis, akses terbatas ke fasilitas pelayanan kesehatan, serta kondisi kesehatan anak yang seringkali diperburuk oleh adanya komorbid serta malnutrisi.
Indonesia termasuk dalam salah satu dari 10 negara dengan beban TBC RO tertinggi di dunia, dengan sekitar 31.000 kasus TBC RO setiap tahun. Diperkirakan 5-7% terjadi pada anak, yaitu sekitar 1.500-2.000 kasus. Namun penemuan kasus TBC RO pada anak masih jauh di bawah dari perkiraan tersebut. Pada tahun 2021, hanya 80 kasus TBC RO pada anak yang terdeteksi. Jumlah ini meningkat menjadi 143 kasus pada tahun 2022, pada anak di bawah 15 tahun. Dari jumlah tersebut, hanya 67 anak yang memulai pengobatan di tahun 2022.
Kesenjangan ini menunjukkan tantangan besar dalam penanggulangan TBC RO pada anak di Indonesia, dimana masih terdapat ketimpangan yang cukup signifikan yang menggambarkan perkiraan jumlah kasus dan penemuan serta akses terhadap pengobatan yang efektif.
TBC RO pada Anak
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai permasalahan yang ada, kita akan memahami terlebih dulu tentang TBC RO pada anak. Seorang anak atau remaja dikatakan terduga TBC RO jika mempunyai satu atau lebih dari kriteria berikut:
- Pasien anak yang telah mendapatkan pengobatan TBC sensitif obat (TBC SO) namun tidak menunjukkan perbaikan.
- Anak dengan gejala TBC yang:
- kontak erat dengan pasien TBC RO, atau
- kontak erat dengan pasien TBC SO yang tidak patuh dalam menjalani pengobatannya, gagal pengobatan, atau yang meninggal akibat TBC, atau
- anak yang pernah diobati TBC sebelumnya.
Gejala klinis TBC RO pada anak dan remaja serupa dengan gejala TBC lainnya. Oleh karena itu sangat penting untuk melakukan penegakan diagnosis melalui konfirmasi bakteriologis. Metode pemeriksaan terhadap contoh uji (sample) yang dikumpulkan (bisa berupa dahak, aspirasi lambung, maupun tinja) menggunakan Tes Cepat Molekuler merupakan pemeriksaan cepat dan utama (point of care test) untuk konfirmasi diagnosis TBC RO pada anak.
Di Indonesia, pengobatan TBC RO untuk anak dan remaja kini tersedia dalam beberapa kombinasi obat yang disesuaikan dengan jenis resistansi, usia dan tingkat keparahan penyakit.
- Untuk kasus TBC RO yang ringan tersedia paduan jangka pendek yang menggunakan kombinasi 4-7 obat dengan durasi pengobatan selama 6-11 bulan. Durasi pengobatan ini dapat bervariasi sesuai usia maupun perkembangan kemajuan pengobatan. Sedangkan bagi anak dengan usia di atas 14 tahun, kini tersedia paduan obat baru TBC RO, yaitu BPaL/M berdurasi 6 bulan dan terdiri dari 3-4 jenis obat.
- Untuk kasus TBC RO yang berat (atau memiliki keterlibatan organ-organ vital seperti sistem saraf pusat atau tulang), tersedia paduan jangka panjang. Paduan jangka panjang menggunakan kombinasi 5 jenis obat dan durasi pengobatan bervariasi antara 9 hingga 20 bulan.
Informasi lengkap terkait pilihan paduan pengobatan TBC RO dapat dilihat pada Petunjuk Teknis Tata Laksana TBC Anak dan Remaja 2023.
Permasalahan TBC RO pada Anak
TBC RO pada anak adalah tantangan kesehatan yang perlu mendapatkan perhatian serius. Anak-anak, dengan sistem kekebalan yang belum sempurna, lebih rentan mengalami komplikasi berat ketika terinfeksi dan sakit TBC. Pengobatan yang tidak tepat atau tertunda dapat meningkatkan risiko ini, terutama bagi bayi dan anak usia di bawah 2 tahun yang sangat rentan untuk mengalami TBC dalam bentuk yang lebih parah, termasuk TBC RO berat.
Sayangnya, ada sejumlah tantangan yang menjadi penghambat upaya penanggulangan TBC RO pada anak, antara lain:
1. Keterbatasan Akses Deteksi Dini
Deteksi dini TBC RO pada anak merupakan bagian yang krusial dalam penanggulangan TBC RO pada anak, terutama bagi anak yang tinggal dengan anggota keluarga dewasa yang terkonfirmasi TBC RO. Sebuah studi di Peru menunjukkan bahwa anak yang terpapar TBC RO di rumah memiliki risiko 30 kali lebih tinggi terkena TBC dibandingkan anak di populasi umum. Namun, investigasi kontak untuk kasus indeks termasuk kasus TBC RO belum optimal dilakukan di Indonesia. Keterbatasan sumber daya, baik finansial maupun tenaga kerja, menjadi salah satu penghambat utama.
2. Kendala dalam Penegakan Diagnosis
Mendiagnosis TBC RO pada anak bukanlah hal yang mudah. Gejala seperti batuk, demam, dan penurunan berat badan pada anak seringkali tidak spesifik, sehingga sulit untuk segera dicurigai sebagai TBC, apalagi TBC RO. Selain itu, kesulitan untuk pengambilan contoh uji dari dahak merupakan salah satu tantangan tersendiri. Minimnya produksi dahak pada anak, ketidakmampuan anak membatukkan dahak, serta jumlah kuman yang rendah menjadi tantangan tersendiri pada kelompok usia ini. Sekitar 69% dari kasus yang tidak terdeteksi terjadi pada kelompok usia <5 tahun.
Sarana dan prasarna kesehatan dalam penegakan diagnosis bagi TBC RO pada anak juga seringkali menjadi salah satu tantangan dalam menangani kasus TBC RO anak. Pengambilan contoh uji yang kadang memerlukan prosedur invasif seperti induksi dahak, aspirasi cairan lambung hingga bronkoskopi membutuhkan fasilitas yang kompleks dan belum semua fasilitas TBC RO yang dapat melakukan seluruh pemeriksaan ini.
3. Kompleksitas Pengobatan TBC dan Dampaknya
Durasi pengobatan TBC yang panjang, banyaknya pil yang harus dikonsumsi setiap hari, dan efek samping obat memberikan dampak signifikan bagi anak dengan TBC RO. Tidak hanya mempengaruhi progres klinis pada anak namun juga dapat memberikan dampak psikologis bagi anak dan keluarganya. Kekhawatiran yang dialami saat proses pengobatan, kemungkinan efek samping yang dialami, serta isolasi sosial selama fase infeksius dapat menimbulkan stress tersendiri. Lebih lanjut, masih terbatasnya formulasi obat yang ramah anak menimbulkan kesulitan tersendiri pada penyesuaian dosis yang dibutuhkan anak.
4. Keterbatasan Akses Pengobatan
Dari sisi program penanggulangan TBC, jumlah fasyankes pelaksana layanan TBC RO yang masih terbatas di 417 kabupaten/kota (dari total 514 kabupaten/kota) menyebabkan masih ada area di mana layanan mulai pengobatan TBC RO masih sulit untuk dijangkau bagi pasien maupun keluarganya. Akses transportasi dan tingginya biaya perjalanan dalam mengakses fasilitas kesehatan dapat menjadi hambatan untuk mendapatkan pengobatan yang dibutuhkan.
5. Tantangan Sosioekonomi
Durasi pengobatan TBC RO yang panjang membawa beban finansial bagi keluarga. Meskipun di Indonesia biaya pemeriksaan dan pengobatan TBC ditanggung pemerintah, namun tetap ada biaya tambahan, seperti biaya transportasi ataupun biaya lainnya, yang diperlukan untuk kontrol rutin sepanjang pengobatan. Selain itu, masih tinggi stigma kepada pasien TBC sering kali membuat orang enggan melakukan pemeriksaan dan pengobatan
6. Komorbiditas dan Malnutrisi
Salah satu komorbiditas yang paiing sering dialami oleh pasien TBC adalah HIV. Anak dengan HIV memiliki risiko lebih tinggi terinfeksi TBC dan mengalami kematian akibat TBC dibandingkan anak tanpa HIV. Ko-infeksi TBC RO–HIV membuat pengobatan menjadi lebih kompleks serta meningkatkan beban pil harian karena anak harus menerima pengobatan TBC dan mendapatkan ART (antiretroviral treatment).
Selain HIV, malnutrisi juga dapat meningkatkan risiko infeksi TBC karena daya tahan yang rendah serta meningkatkan kemungkinan kegagalan pengobatan. Oleh karena itu, penting untuk menatalaksana kondisi-kondisi ini sembari melakukan penanganan TBC RO itu sendiri, agar hasil akhir pengobatan lebih efektif dan meminimalkan risiko komplikasi.
Upaya Pemerintah Indonesia dalam Mengatasi Permasalahan TBC RO pada Anak
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan RI telah menyusun berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan penanggulangan TBC di Indonesia yang tertuang dalam dokumen Revisi Strategi Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia tahun 2020-2024 dan Rencana Interim 2025-2026. Upaya dengan pendekatan inklusif dan berfokus solusi tersebut antara lain sebagai berikut:
-
Penguatan Pelaksanaan Kegiatan Investigasi Kontak dan Pemberian Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT)
Pemerintah berupaya melakukan penguatan investigasi kontak secara menyeluruh untuk mendeteksi kasus TBC, termasuk TBC RO, terutama pada anak-anak yang terpapar di lingkungan keluarganya. Pemberian Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) merupakan langkah penting yang dilakukan sebagai tindak lanjut hasil investigasi kontak yang dilakukan. Studi yang dilakukan oleh Jenkins dan Yuen (2018) menunjukkan bahwa investigasi kontak pada orang dengan TBC RO dapat meningkatkan 12 kali lipat (39-50%) penemuan kasus TBC RO pada anak.
-
Meningkatkan Kesadaran dan Pengetahuan Masyarakat terkait TBC RO Pada Anak
Peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang TBC maupun TBC RO melalui kampanye ataupun penyebaranluasan informasi melalui berbagai media dapat mengurangi stigma serta penolakan tindakan pengobatan atau pencegahan. Selain itu, masyarakat bisa berpartisipasi aktif dalam upaya deteksi dini dan memberikan dukungan bagi orang dengan TBC maupun TBC RO untuk menjalani pengobatan hingga sembuh. Edukasi yang tepat dan berkelanjutan diharapkan dapat meningkatkan dukungan sosial dari masyarakat kepada orang dengan TBC RO, termasuk anak dengan TBC RO.
-
Metode Diagnosis dan Pengobatan yang Ramah Anak
Pemerintah Indonesia juga sudah memperkenalkan metode diagnosis dan pengobatan yang ramah anak. Salah satu contohnya adalah pemeriksaan penegakan TBC non-invasif dengan contoh uji feses/tinja. Selain itu, saat ini penyediaan paduan obat dengan durasi yang lebih pendek dan formulasi obat yang ramah anak (dapat larut dalam air, memiliki rasa manis) diharapkan dapat mengurangi kesenjangan jumlah yang memulai pengobatan setelah terdiagnosis. Saat ini Program TBC Nasional telah menyediakan beberapa jenis obat dalam formulasi ramah anak seperti obat bedaquiline 20 mg, clofazimine 50 mg, etambutol 100 mg, levofloksasin 100mg dan beberapa obat TBC lainnya. Ketersedian obat dalam formulasi ramah anak ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pengobatan dan menurunkan angka anak yang belum memulai pengobatan setelah terdiagnosis.
-
Perluasan Akses Pengobatan TBC RO di Seluruh Indonesia
Untuk mempercepat akses pengobatan, pemerintah menargetkan peningkatan jumlah puskesmas inisiasi pengobatan TBC RO di 240 kabupaten kota prioritas dengan beban TBC RO yang tinggi. Pengobatan TBC RO yang dapat dimulai di puskesmas diharapkan dapat menurunkan kesenjangan jumlah orang yang memulai pengobatan serta meningkatkan angka keberhasilan pengobatan. Hingga September 2024 telah tersedia 332 puskemas inisiasi di 72 kabupaten/kota yang tersebar di 18 provinsi di Indonesia.
Upaya penanggulangan TBC RO pada anak adalah tanggung jawab yang perlu kita emban bersama. Sobat TB, mari ambil peran aktif mendukung perjuangan ini. Mulailah dari langkah kecil dengan membagikan informasi ini kepada sahabat dan keluarga, Bersama, kita wujudkan dunia yang lebih sehat, aman, dan penuh harapan bagi generasi mendatang. TOSS TBC Temukan, Obati, Sampai Sembuh!
Referensi:
- World Health Organization (WHO). 2023. Global TB Report. Geneva: World Health Organization
- Kemenkes, R.I (2023). Petunjuk Teknis Tatalaksana Tuberkulosis Anak dan Remaja. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
- Kemenkes, R.I. (2023), Revisi Strategi Nasional Penanggulangan TBC 2020-2024 dan Rencana Interim 2025-2026, Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
- World Health Organization (WHO). 2022. WHO operational handbook on tuberculosis. Module 5: Management of tuberculosis in children and adolescents. Geneva: World Health Organization
- World Health Organization (WHO). 2022. WHO consolidated guidelines on tuberculosis. Module 5: Management of tuberculosis in children and adolescents. Geneva: World Health Organization
- Gaensbauer, J. T., Dash, N., Verma, S., Hall, D. J., Adler-Shohet, F. C., Li, G., Lee, G., Dinnes, L., & Wendorf, K. (2024). Multidrug-resistant tuberculosis in children: A practical update on epidemiology, diagnosis, treatment and prevention. Journal of Clinical Tuberculosis and Other Mycobacterial Diseases, 100449. https://doi.org/10.1016/j.jctube.2024.100449
- Jenkins HE, Yuen CM. The burden of multidrug-resistant tuberculosis in children. Int J Tuberc Lung Dis. 2018 May 1;22(5):3-6. doi: 10.5588/ijtld.17.0357. PMID: 29665947; PMCID: PMC5975247.
- World Health Organization (WHO). 2018. Roadmap towards ending tuberculosis in children and adolescents. Second edition. Geneva: World Health Organization.
- Dodd, P. J., Gardiner, E., Coghlan, R., & Seddon, J. A. (2014). Burden of childhood tuberculosis in 22 high-burden countries: a mathematical modelling study. The Lancet Global Health, 2(8), e453–e459. https://doi.org/10.1016/s2214-109x(14)70245-1
- Pakasi, Tiffany Tiara. (2024, September 10). Kebijakan dan Situasi Program TBC & TPT [Presentasi PowerPoint]. Webinar Series Dalam Rangka Kegiatan Hari Tuberkulosis Sedunia 2024 Memutus Rantai Penularan TBC melalui Investigasi Kontak dan Terapi Pencegahan TBC
- Tim Kerja TBC. Dashboard TB Indonesia [Internet]. Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular. 2024 [dikunjungi 26 September 2024]. Tersedia pada: https://tbindonesia.or.id/pustaka-tbc/dashboard/
- Juknis TBC RO 2024
- Das M, Mathur T, Ravi S, Meneguim AC, Iyer A, et al. (2021) Challenging drug-resistant TB treatment journey for children, adolescents and their care-givers: A qualitative study. PLOS ONE 16(3): e0248408. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0248408
- Zhuang Z, Sun L, Song X, Zhu H, Li L,Zhou X and Mi K (2023) Trends and challenges of multi-drug resistance in childhood tuberculosis. Front. Cell. Infect. Microbiol. 13:1183590.doi: 10.3389/fcimb.2023.1183590