TAHU TB : Gizi dan Tuberkulosis
25 January 2020
Bagaimana hubungan antara gizi dan tuberkulosis? Laporan badan kesehatan dunia, WHO, menyatakan bahwa beban tuberkulosis (TBC) di Indonesia berada pada peringkat tiga dunia. Kondisi ini tentunya dipengaruhi oleh sejumlah faktor diantaranya kepadatan penduduk. Tingginya kepadatan penduduk berisiko pada peningkatan potensi penularannya. Penyakit tuberkulosis sejak tahun 1995 sudah menjadi masalah penyakit masyarakat. Seiring dengan berjalannya waktu, penyakit ini kerap dianggap sebagai hal biasa. Upaya pencegahan pun kerap dikesampingkan sehingga membuat siklus penularan penyakit ini terus berulang.
Gizi dan Tuberkulosis
Selain upaya pencegahan TBC yang masih kurang optimal, pengobatan pasien TBC juga masih menjadi permasalahan. Seperti yang diutarakan oleh dr. Brian Sriprahasti, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, “Yang menjadi penting disini adalah apabila pengobatan tidak tuntas, maka akan berpotensi terjadi resistansi, sehingga upaya pengobatanpun menjadi meningkat, menjadi lebih lama dan biaya yang lebih mahal,” Pengobatan TBC yang tidak tuntas dapat menimbulkan TBC yang levelnya lebih tinggi lagi, yaitu TBC kebal obat/ TBC resistan obat.
Salah satu aspek penting dalam menanggulangi peningkatan beban tuberkulosis adalah pemenuhan gizi. Asupan gizi yang tidak memadai pada ibu hamil dan anak dapat menyebabkan stunting. Saat ini stunting merupakan salah satu prioritas masalah kesehatan di Indonesia. Menurut WHO, stunting memiliki definisi sebagai masalah gagal tumbuh karena kekurangan gizi kronis dan penyakit. Kurang gizi sendiri disebabkan karena asupan yang kurang, pola pengasuhan orangtua, serta kondisi tubuh yang sakit sehingga tidak dapat mengelola asupan dengan baik.
Dalam kaitannya dengan tuberkulosis, kondisi kekurangan gizi dapat disebabkan karena faktor ketiga, seperti adanya penyakit kronik. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi kronis yang jika tidak segera ditangani dapat berpengaruh pada pertumbuhan yang terganggu, dan kemudian dapat menyebabkan stunting. Di sisi lain, kekurangan gizi berdampak pada daya tahan tubuh yang rentan untuk bisa terkena penyakit karena tidak memiliki banteng untuk pertahanan diri. Kondisi daya tahan tubuh yang rentan ini menjadi salah satu penyebab utama meningkatknya kejadian infeksi dan sakit TBC.
Potensi Posyandu dalam Eliminasi Tuberkulosis
Posyandu sebagai salah satu bentuk Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, di mana keterlibatan masyarakatnya bersifat sukarela. Menurut dr. Brian berdasarkan laporan Kemenkes 2018, jumlah Posyandu yang aktif hanya 57% di Indonesia. Dikatakan aktif disini berarti berada pada strata Purnama atau Mandiri. Kondisi ini jauh dari harapan mengingat Posyandu sendiri memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung program priotas pemerintah saat ini. Posyandu menjadi salah satu kendaraan penting sebagai garda depan dalam upaya pencegahan stunting serta AKI.
Bagi daerah dengan tingkat prevalansi tuberkulosis yang tinggi, peran kader Posyandu dapat dimaksimalkan melalui deteksi awal potensi kemungkinan terkena infeksi bakteri tuberkulosis. Posyandu dalam fungsinya dapat berkontribusi pada eliminasi TBC pada balita dan ibu hamil, karena dua kelompok masyarakat ini yang memang menjadi pengguna fasilitas Posyandu.
“Peran Posyandu ini kan untuk memonitoring pertumbuhan anak, sehingga apabila ditemukan seorang anak dengan berat dan tinggi badan kurang dari standar, dan daerah tersebut merupakan wilayah dengan prevalansi tinggi untuk tuberkulosis, maka bisa menjadi deteksi awal yang kemudian diteruskan kepada petugas kesehatan setempat untuk menindaklanjuti hal tersebut,” terang dr. Brian.
Posyandu dalam menjalankan fungsinya tercakup dalam lima meja. Lima meja disini adalah lima pokok kegiatan yang wajib dilakukan dalam aktivitas Posyandu. Dalam mendukung upaya eliminasi tuberkulosis sendiri, peran ini dapat ditempatkan pada meja keempat dimana kader berperan dalam memberikan penyuluhan dan pelayanan gizi. Hal ini sebagai tindakan preventif untuk mencegah anak dan ibu hamil terinfeksi tuberkulosis melalui edukasi serta skrining dasar.
Relevansi Tuberkulosis dalam Program Prioritas Pemerintah
Stunting dan angka kematian ibu menjadi salah satu dari program prioritas pemerintahan Presiden Jokowi dibidang kesehatan. Dengan tingginya prevalansi TBC di Indonesia, kedua kelompok ini (balita dan ibu hamil) juga menjadi target prioritas dalam eliminasi tuberkulosis.
Vaksinasi BCG yang merupakan vaksin wajib untuk diberikan kepada anak, merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kejadian infeksi TBC berat pada anak. Infeksi berat pada anak dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan anak terganggu. Jika tidak segera ditangani, terganggunya pertumbuhan pada anak dapat menyebabkan stunting. Hal ini menunjukkan bahwa secara tidak langsung, pemberian vaksin BCG berkontribusi pada penurunan stunting.
Pemerintah berharap melalui upaya “Kecukupan Gizi 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)” dan investigasi kontak kasus tuberkulosis, terutama pada populasi ibu hamil dan anak balita dapat berkontribusi secara signifikan dalam pencegahan stunting dan TBC. Selain itu, penguatan layanan kesehatan masyarakat juga perlu untuk ditingkatkan agar mampu menjawab tantangan penularan serta peningkatan kasus tuberkulosis. Penguatan layanan ini tentunya mencangkup sejumlah hal diantaranya sistem tenaga kesehatan, obat dan alat kesehatan, pembiayaan, tata kelola, serta sistem pencatatan.
Pentingnya adanya edukasi guna meningkatkan kesadaran masyarakat pentingnya pemenuhan gizi bagi bayi, balita, dan ibu hamil. Pemenuhan gizi yang seimbang bisa menjadi salah satu kunci penting dalam menciptakan generasi yang sehat dan daya tahan kuat agar bebas dari penyakit.
Teks: Melya Findi
Editor: Angelin Yuvensia
Narasumber: dr. Brian Sriprahasti