TAHU TB: PENTINGNYA PENCEGAHAN TBC PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA)
30 December 2020
Sepuluh tahun Nurma hidup dengan HIV/AIDS, selama itu pula ia tidak pernah memberinya banyak hambatan penyakit yang berarti. Setiap bulan ia tak pernah absen mengambil obat antiretroviral (ARV) ke puskesmas. Selama ia tidak lepas obat, virus dalam tubuhnya akan tertekan dalam jumlah yang rendah dan kemungkinan kecil dapat membuat Nurma jatuh sakit.
Ternyata, tidak hanya HIV/AIDS yang membuat kondisi tubuhnya rentan terkena penyakit, namun pada tahun 2018, Nurma juga terkena penyakit tuberkulosis (TBC).
“Saat tertular TBC, saya benar-benar drop. Napas selalu sesak, badan lemas, dan selalu mual. Sampai saya berpikir, apa saya akan mati?” cerita Nurma kepada Hello Sehat pada Rabu (16/12). Menurutnya, pengalaman melawan TBC dan HIV itu amat melelahkan sebab kondisi kesehatannya memburuk dan berat badannya menurun drastis.
Awalnya, gejala sakit yang timbul seperti flu biasa, sesak, lemas, tidak nafsu makan, disertai batuk namun tidak terlalu parah. Nurma tidak berobat karena merasa itu flu biasa dan hanya menyampaikan keluhannya ke dokter puskesmas dalam kunjungan rutinnya untuk mengambil obat ARV. Nurma diduga hanya mengalami kelelahan dan butuh banyak istirahat. Tapi seminggu kemudian, lemas tubuhnya semakin menjadi sementara sesak napasnya sudah tidak tertahan lagi. Nurma dipaksa teman-temannya untuk menemui seorang dokter kenalan dan memeriksakan kondisinya lebih lanjut. Dokter tersebut meminta Nurma melakukan tes dahak karena langsung mencurigai ia terinfeksi TBC. Kecurigaan tersebut tepat.
Tuberkulosis membuat Nurma terbaring di kasur selama 2 bulan dan harus minum obat selama 6 bulan penuh. Memasuki bulan ke tiga, tubuhnya mulai pulih, nafsu makannya kembali, dan berat badannya naik. Nurma terus minum obat sesuai yang dijadwalkan dokter selama 6 bulan penuh hingga ia dinyatakan negatif TBC.
Orang dengan HIV/AIDS Rentan Terhadap Penularan TBC
Organisasi kesehatan dunia (WHO) mencatat Indonesia sebagai negara peringkat kedua dengan kasus TBC terbanyak di dunia pada tahun 2019. Dalam Global TBC Report tahun 2020, WHO memperkirakan kasus TBC di Indonesia di kisaran 845.000 kasus dengan angka kematian mencapai 96.000 kasus. Dalam data yang sama, WHO mencatat angka kematian TBC di dunia mencapai 1,2 juta jiwa dan terdapat 208.000 kematian merupakan orang dengan HIV/AIDS. Angka ini memperlihatkan bahwa TBC merupakan ancaman kesehatan serius bagi orang Indonesia, terutama bagi mereka yang hidup dengan HIV/AIDS. ODHA rentan terhadap penularan TBC karena infeksi HIV melemahkan sistem kekebalan tubuh yang membuatnya lebih sulit melawan kuman penyebab TBC. Karena itu, semua orang dengan HIV/AIDS wajib melakukan pemeriksaan TBC dan sebaliknya orang yang diketahui positif TBC wajib melakukan pemeriksaan HIV. Perjuangan melawan penyakit TBC pada ODHA bisa sangat berat, karena itu pencegahan untuk dapat terkena penyakit TBC sangat diperlukan. Seperti kata pepatah, mencegah lebih baik dari pada mengobati.
Cara Pencegahan Penularan TBC pada ODHA
Tuberkulosis atau TB/TBC adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis di paru-paru. TBC dapat menyerang bagian tubuh lain, seperti otak, ginjal, atau tulang belakang. Penularan TBC terjadi ketika seseorang menghirup udara yang terkontaminasi bakteri tuberkulosis. Bakteri dikeluarkan melalui droplet atau percikan dahak yang keluar saat pengidap TBC batuk atau bersin. Penting untuk diketahui bahwa orang yang terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis bisa saja tidak langsung menularkan bakteri pada orang lain. Hanya orang dengan penyakit TBC paru aktif saja yang dapat menyebarkan bakteri tersebut kepada orang lain. Ada tiga tingkatan bagaimana TBC menginfeksi tubuh manusia.
Pertama infeksi primer, di mana seseorang telah menghirup bakteri penyebab TB, lalu bakteri tersebut masuk melalui saluran pernapasan, dan mulai memperbanyak diri.
Kedua, infeksi laten yaitu saat sistem imun melakukan perlawanan terhadap bakteri yang mulai berkembang biak. Saat imun tubuh mampu menahan perkembangbiakan bakteri, M. tuberculosis akan masuk ke dalam status dorman, yaitu kondisi di mana bakteri tidur atau tidak aktif menginfeksi, kondisi ini juga disebut TBC laten. Orang yang berada dalam fase TBC laten tidak mengalami gejala sakit dan tidak menularkan. Namun, orang dalam fase TBC laten berisiko lanjut ke fase infeksi TBC aktif, terutama jika mereka mengidap HIV.
Ketiga, infeksi TBC aktif yakni tahapan ketika respons imun tidak mampu melawan bakteri tuberkulosis, bakteri akan lebih bebas memperbanyak diri dan menyerang sel-sel sehat di paru-paru.
Hanya orang yang berada di tahapan infeksi aktif TBC yang bisa menularkan penyakit ini ke orang lain. ODHA jauh lebih rentan terhadap risiko TBC aktif dibandingkan orang sehat lainnya dengan sistem kekebalan tubuh yang lebih baik.
Untuk mencegah infeksi TBC, ODHA bisa menjalani Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT). TPT diberikan selama tiga bulan (dengan obat Isoniazid dan Rifapentin, atau, Isoniazid dan Rifampicin), atau enam bulan (dengan obat Isoniazid) kepada ODHA yang terbukti tidak terinfeksi bakteri TBC. Menurut Buku Petunjuk Teknis Penanganan Infeksi Laten Tuberkulosis (ILTB) tahun 2020, ODHA dengan usia kurang dari 2 tahun direkomendasikan menggunakan terapi 3 bulan Insoniazid dan Rifampicin atau 6 bulan Isoniazid tunggal. Sedangkan ODHA dengan usia lebih dari 2 tahun, direkomendasikan menggunakan terapi 3 bulan Isoniazid dan Rifampentin atau 6 bulan Isoniazid tunggal. Tentunya perlu dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu oleh dokter sebelum mengkonsumsi obat ini.
Selain TPT, pencegahan penularan TBC pada ODHA adalah dengan meminum ARV (Antiretroviral) secara teratur, memeriksakan diri secara rutin ke dokter minimal 1 kali dalam sebulan, serta menerapkan pola hidup sehat dan etika batuk.
Editor: Aditiya Bagus Wicaksono
*Artikel ini merupakan artikel kolaborasi antara Yayasan KNCV Indonesia dengan Hello Sehat