dr. Satriyo : PSBB Tidak Membatasi Pasien Mendapat Layanan Tuberkulosis
8 June 2020
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berlangsung sejak Maret 2020 memiliki dampak dalam berbagai hal. Tak hanya membatasi ruang gerak, namun juga berdampak pada segi fasilitas layanan kesehatan baik rumah sakit, puskesmas maupun fasilitas kesehatan lainnya. Puskesmas Kecamatan Setiabudi salah satunya. Sebelum masa pandemi, aktivitas layanan tuberkulosis di wilayah Kecamatan Setiabudi berjalan normal, dengan tetap menerapkan prinsip DOTS dan strategi TEMPO.
Satriyo Permadi (29) telah aktif melayani sebagai Dokter Umum layanan TB DOTS Puskesmas Kecamatan Setiabudi sejak Januari 2019. Ia mengatakan bahwa Puskesmas Kecamatan Setiabudi aktif melakukan penemuan kasus secara aktif dengan bekerjasama dengan kader di masyarakat. Selama masa pandemi COVID19 ini terjadi penurunan dalam penemuan kasus.
“Di kuartal pertama yaitu bulan Januari hingga Maret 2020 kita menemukan 90 kasus, sementara setelah pandemi di kuartal kedua, yaitu bulan April hingga Mei hanya sekitar 40 kasus, meski di bulan Juni ini belum terhitung, namun peningkatannya tidak akan signifikan,”ujarnya.
Hal ini karena investigasi kontak yang biasa dilakukan harus terhenti sementara karena penerapan PSBB. Sehingga jumlah kasus TBC dan terduga TBC pun turut menurun. Meski demikian, investigasi kontak tetap dilakukan walau tidak dilakukan melalui kunjungan. Media komunikasi seperti grup Whatsapp menjadi salah satu platform yang digunakan. dr. Satriyo mengatakan melalui sarana ini komunikasi dengan jejaring baik kader di tingkat masyarakat, Dokter Praktik Mandiri (DPM)/klinik, dan juga rumah sakit tetap terjalin.
Namun, iapun tidak memungkiri adanya penurunan angka kunjungan pasien karena rasa takut pasien untuk mengaskes layanan kesehatan di masa pandemi ini. Untuk mengantisipasi hal ini, Puskesmas Kecamatan Setiabudi yang semula memiliki sejumlah layanan poliklinik, untuk saat ini hanya membagi pelayanan menjadi dua poliklinik saja, yaitu poliklinik infeksi dan poliklinik non-infeksi untuk meminimalisir resiko penularan. Selain itu, disinfeksi ruangan juga dilakukan setiap hari pada jam-jam tertentu.
“Sekarang bagi pendamping pasien hanya dibatasi satu orang saja, dan itupun diwajibkan untuk menggunakan masker. Kita juga membuat hotline yang bernama Klinik Ratu, atau Berantas Batuk. Jadi bagi pasien yang perlu konsultasi dapat bertanya melalui hotline ini tanpa perlu datang ke Puskesmas,” terang dr. Satriyo menceritakan layanan di Puskesmasnya.
Pasien TBC dalam masa pengobatan juga akan diberikan obat dalam jangka waktu yag lebih lama dari biasanya, seperti untuk TBC kategori satu yang biasa melakukan pengambilan obat setiap dua minggu kini diperpanjang menjadi satu bulan. Menurut dokter yang sebelumnya aktif melayani di Rumah Sakit di Kota Padang ini, kebijakan pemerintah saat ini sudah sangat mendukung layanan TBC di masa pandemi ini. Sehingga meski saat ini perhatian tertuju pada COVID-19 namun layanan TBC tetap berjalan, baik dari segi diagnosa hingga pengobatan pasien TBC.
Ia pun berharap perlu ada kajian lebih lanjut tentang bagaimana kebijakan layanan TBC dalam memasuki masa kenormalan baru ini. Terutama terkait dengan upaya investigasi kontak, apakah dapat dilakukan kembali seperti semula dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Mengingat upaya ini sangat penting untuk penemuan kasus sehingga pasien segera mendapat penanganan yang tepat.
Satriyo tetap optimis target eliminasi TBC 2030 masih akan tetap tercapai. Tentunya dengan sejumlah inovasi yang perlu segera diterapkan di masa pandemi menuju kenormalan baru ini. Selain penemuan kasus melalui investigasi kontak, kegiatan edukasi tetap perlu dilakukan sebagai upaya preventif.
“Jangan karena ada yang baru (baca-COVID-19) yang lama (baca-TBC) dilupakan,” ujar dr. Satriyo.
Peran kader masyarakat tentunya menjadi sangat penting sebagai salah satu agen perubahan yang juga dekat dengan masyarakat. Pembekalan dan peningkatan kapasitas tentunya menjadi kunci untuk mendukung upaya ini. Semakin banyak masyarakat yang paham akan bahaya TBC, semakin banyak pula masyarakat yang akan menerapkan upaya pencegahan, sama halnya dengan COVID-19 saat ini.
Teks: Melya Findi
Editor: Triftianti Lieke
Gambar: Amadeus Rembrandt